Pada postingan terdahulu saya pernah mengulas tentang posisi hubungan seks menurut kamasutra, maka pada postingan kali ini saya akan share bagaimana cara berhubungan intim dan posisi hubungan seks menurut islam, semoga bermanfaat bagi pengunjung blog obatherbal-2u.
Dalam Islam, hubungan badan atau hubungan suami istri disebut dengan Jima'. Dalam hal bercinta atau Jima' seorang suami harus memperhatikan berbagai hal, yaitu salah satunya tidak hanya mementingkan kepuasan pada dirinya sendiri, tetapi dia juga harus berupaya memberikan kepuasan kepada istrinya. Oleh sebab itu, cumbu rayu sangat diperlukan sebelum melakukan hubungan percintaan, ketenangan pikiran, kenyamanan suasana, dan aneka variasi saat melakukanya.
Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli isterinya sebagaimana hewan menggauli sesamanya. Hendaklah ia mengadakan pemanasan (perantara) terlebih dahulu dengan jalan ciuman dan kata-kata mesra" (HR. Turmudzi)
Pitutur Rasulullah SAW tentang bercinta (senggama) adalah nasehat paripurna, utamanya demi menjaga kesehatan tubuh, mental, dan spiritual, berikut mewujudkan tujuan hubungan seksual menurut ajaran Islam, yaitu: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.
Rasulullah SAW bersabda: Jika seorang istri dipanggil oleh suaminya karena hajat biologisnya, maka hendaknya segera datang, meski dirinya sedang sibuk (HR Turmudzi). Ajaran Islam tidak membenarkan perilaku para istri yang menolak ajakan suami mereka untuk bercinta. Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: Allah melaknat wanita yang menunda-nunda, yaitu seorang istri ketika diajak suaminya ke tempat tidur, tetapi ia berkata, ‘nanti dulu’, sehingga suaminya tidur sendirian (HR Khatib). Dalam hadis lain dituturkan: Jika suami mengajak tidur istrinya, lalu sang istri menolak, yang menyebabkan sang suami marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi tiba (HR Bukhari dan Muslim).
Bersih dan Suci. Haid adalah penyakit bulanan yang tidak suci, wanita yang sedang haid berarti tidak suci. Karenanya, para suami yang istri mereka sedang mengalami datang bulan dilarang mensetubuhinya selama waktu haid. Manakala darah haid sudah berhenti, maka wajib bagi wanita membersihkan tubuhnya dengan air. Kemudian mengambil ‘secuil’ kapas atau kain, lalu melumurinya dengan kasturi atau bahan pewangi lainnya yang beraroma semerbak menawan, kemudian membilas bagian tubuh yang terlumuri darah saat haid, sehingga tidak ada lagi bau tak sedap pada tubuh sang wanita.
Sebagaimana firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah. Haid itu adalah kotoran (penyakit). Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS. al-Baqarah/2: 222). Ajaran Islam juga melarang suami menggauli istrinya ketika dalam keadaan nifas – usai melahirkan. Alasannya jelas, bahwa bercinta dalam ajaran Islam adalah termasuk laku ibadah, karenanya harus dilakukan pada waktu kondisi baik.
Rasulullah SAW juga mengingatkan kepada para suami, agar tidak menyetubuhi istri mereka dalam keadaan nifas dan haid. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang bersenggama dengan wanita yang sedang haid, atau menyetubuhi wanita dari dubur (lubang anus)-nya, atau mendatangi paranormal (ahli tenung), dan mempercayai ramalannya, Maka sejatinya ia telah kufur (ingkar) dengan apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW (HR Abu Daud).
Berhias Diri. Diantara syarat bercinta ialah masing-masing pasangan – suami istri – harus berhias diri untuk menyenangkan dan menggairahkan percintaan yang hendak dilakukan. Diantara cara berhias diri dalam bercinta adalah: Mambagusi bagian tubuh, yang merupakan lima organ fitrah, sebagaimana dituturkan Rasulullah SAW: Lima hal yang termasuk fitrah (sesuci), yakni mencukur kumis, mencukur bulu ketiak, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, dan khitan. Menggunakan wewangian, yang paling utama adalah kasturi. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa tatkala seorang sahabat yang memberitahu Rasulullah SAW tentang adanya seorang wanita yang memerciki cincinnya dengan kasturi, Rasulullah SAW bersabda: Kasturi adalah sebaik-baik wewangian.
Berdoa. Diantara etika seks dalam Islam ialah membaca doa sebelum melakukan persetubuhan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas dituturkan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Jika salah seorang diantara kalian hendak mencampuri istrinya, maka hendaknya sebelum senggama membaca doa: Bismillah, Allahumma jannibnaa asy-syaithan, wa jannib asy-syaithana ma ruziqnaa (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari Setan. Dan jauhkan setan dari apa-apa yang Engkau karuniakan kepada kami (anak keturunan). Dengan memanjatkan doa, diharapkan anak yang lahir dari buah percintaan tidak goyah diperdaya setan, akan tetapi serta selalu dekat kepada Allah.
Mencari tempat bercinta yang nyaman dan merahasiakan apa yang terjadi diantara suami istri pada waktu bercinta. Diantara syarat bercinta dalam Islam ialah mencari tempat yang nyaman dan merahasiakan apa yang terjadi pada saat bercinta, baik istri maupun suami, tidak diperkenankan menceritakan ‘geliat’ percintaan yang dilakukannya kepada orang lain. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Said Khudri, ia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda: Selazimnya bagi kaum lelaki diantara kalian yang hendak memenuhi hajat biologisnya, mencari tempat yang nayaman, jauh dari hiruk pikuk keluarganya, dan menutup pintu rapat-rapat, serta mengenakan sehelai kain, barulah bercinta (bersetubuh). Kemudian apabila telah selesai bercinta, hendaknya tidak menceritakan hubungan badannya kepada orang lain. Selazimnya bagi kaum wanita diantara kalian, yang hendak memenuhi hajat biologis, mencari tempat yang nyaman, menutup pintu rapat-rapat, dan mengenakan sehelai kain untuk menutup tubuhnya. Dan jika selesai memuaskan dahaga cinta, hendaknya tidak menceritakan hubungan intimnya kepada yang lain. Rasulullah SAW berkata tegas. Janganlah kalian melakukan hal seperti itu (menceritakan sesuatu saat senggama dan bersetubuh di tempat terbuka, serta bertelanjang bulat). Sebab perbuatan seperti itu, sama persisnya dengan perbuatan setan pria bertemu dengan setan wanita di tengah jalan, lalu bersetubuh di tempat terbuka, setelah setan pria selesai melampiaskan dahaga seksnya, lantas meninggalkan si wanita begitu saja.
Tidak bercinta saat melakukan iktikaf atau sedang dalam kondisi berihram. Orang yang sedang menjalankan iktikaf di masjid tidak boleh bersenggama, demikian pula orang yang sedang berihram, juga tidak boleh bercampur dengan pasangannya, sebagaimana diwartakan al-Qur’an: Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangnlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (QS. al-Baqarah/2: 187). Usman bin Affan meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW bertutur: Orang yang sedang melaksanakan ibadah Ihram tidak boleh bersenggama, maupun menikah atau melamar (HR Muslim). Dalam riwayat Turmudzi disebut dengan redaksi: Saat berihram dilarang bersetubuh.
Memperhatikan kondisi fisik. Waktu yang paling tepat untuk melakukan hubungan badan adalah saat kondisi fisik dalam keadaan fit (segar bugar), yakni pencernaan makanan lancar, tensi tubuh seimbang antara panas dan dingin, kondisi perut tidak kenyang dan tidak lapar. Sebab bersenggama dalam keadaan tubuh tidak fit, pencernaan makanan tidak lancar, tensi tubuh terlalu panas maupun terlalu dingin, perut terlalu lapar maupun kenyang, akan membuat hububgan badan kehilangan maknanya, dan tidak bisa dinikmati bahkan melahirkan madharat (mara bahaya). Bersenggama dalam keadaan perut lapar lebih berbahaya ketimbang perut dalam keadaan kenyang. Lain daripada itu, tidak akan bisa merengkuhi nikmat senggama, lebih-lebih memberi kepuasan seksual kepada pasangan hidup. Rasulullah SAW bersabda: Jika seseorang diantara kamu bersenggama dengan istrinya, hendaklah ia lakukan dengan penuh kesungguhan. Kemudian, kalau ia telah menyelesaikan kebutuhannya sebelum istri mendapatkan kepuasan, maka janganlah ia buru-buru mencabut (kemaluannya), sampai istrinya menemukan kepuasan (HR Abdul Razaq).
Allah SWT berfirman,“Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam menerangkan ayat tersebut: "Dari depan atau dari belakang (boleh) asalkan tetap di farji (vagina)." (HR. Bukhari dan Muslim dll).
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apa pun: berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”
Dalam Islam, hubungan badan atau hubungan suami istri disebut dengan Jima'. Dalam hal bercinta atau Jima' seorang suami harus memperhatikan berbagai hal, yaitu salah satunya tidak hanya mementingkan kepuasan pada dirinya sendiri, tetapi dia juga harus berupaya memberikan kepuasan kepada istrinya. Oleh sebab itu, cumbu rayu sangat diperlukan sebelum melakukan hubungan percintaan, ketenangan pikiran, kenyamanan suasana, dan aneka variasi saat melakukanya.
Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli isterinya sebagaimana hewan menggauli sesamanya. Hendaklah ia mengadakan pemanasan (perantara) terlebih dahulu dengan jalan ciuman dan kata-kata mesra" (HR. Turmudzi)
Pitutur Rasulullah SAW tentang bercinta (senggama) adalah nasehat paripurna, utamanya demi menjaga kesehatan tubuh, mental, dan spiritual, berikut mewujudkan tujuan hubungan seksual menurut ajaran Islam, yaitu: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.
Etika Sebelum Bercinta
Ada banyak ayat al-Quaran dan Sunnah Nabi yang menuturkan masalah etika bercinta ini. Karenanya, sebelum bercinta, setiap Muslim harus memperhatikan etika (adab) dan prasyarat dalam bersenggama.Rasulullah SAW bersabda: Jika seorang istri dipanggil oleh suaminya karena hajat biologisnya, maka hendaknya segera datang, meski dirinya sedang sibuk (HR Turmudzi). Ajaran Islam tidak membenarkan perilaku para istri yang menolak ajakan suami mereka untuk bercinta. Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda: Allah melaknat wanita yang menunda-nunda, yaitu seorang istri ketika diajak suaminya ke tempat tidur, tetapi ia berkata, ‘nanti dulu’, sehingga suaminya tidur sendirian (HR Khatib). Dalam hadis lain dituturkan: Jika suami mengajak tidur istrinya, lalu sang istri menolak, yang menyebabkan sang suami marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi tiba (HR Bukhari dan Muslim).
Bersih dan Suci. Haid adalah penyakit bulanan yang tidak suci, wanita yang sedang haid berarti tidak suci. Karenanya, para suami yang istri mereka sedang mengalami datang bulan dilarang mensetubuhinya selama waktu haid. Manakala darah haid sudah berhenti, maka wajib bagi wanita membersihkan tubuhnya dengan air. Kemudian mengambil ‘secuil’ kapas atau kain, lalu melumurinya dengan kasturi atau bahan pewangi lainnya yang beraroma semerbak menawan, kemudian membilas bagian tubuh yang terlumuri darah saat haid, sehingga tidak ada lagi bau tak sedap pada tubuh sang wanita.
Sebagaimana firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah. Haid itu adalah kotoran (penyakit). Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (QS. al-Baqarah/2: 222). Ajaran Islam juga melarang suami menggauli istrinya ketika dalam keadaan nifas – usai melahirkan. Alasannya jelas, bahwa bercinta dalam ajaran Islam adalah termasuk laku ibadah, karenanya harus dilakukan pada waktu kondisi baik.
Rasulullah SAW juga mengingatkan kepada para suami, agar tidak menyetubuhi istri mereka dalam keadaan nifas dan haid. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang bersenggama dengan wanita yang sedang haid, atau menyetubuhi wanita dari dubur (lubang anus)-nya, atau mendatangi paranormal (ahli tenung), dan mempercayai ramalannya, Maka sejatinya ia telah kufur (ingkar) dengan apa-apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW (HR Abu Daud).
Berhias Diri. Diantara syarat bercinta ialah masing-masing pasangan – suami istri – harus berhias diri untuk menyenangkan dan menggairahkan percintaan yang hendak dilakukan. Diantara cara berhias diri dalam bercinta adalah: Mambagusi bagian tubuh, yang merupakan lima organ fitrah, sebagaimana dituturkan Rasulullah SAW: Lima hal yang termasuk fitrah (sesuci), yakni mencukur kumis, mencukur bulu ketiak, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, dan khitan. Menggunakan wewangian, yang paling utama adalah kasturi. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa tatkala seorang sahabat yang memberitahu Rasulullah SAW tentang adanya seorang wanita yang memerciki cincinnya dengan kasturi, Rasulullah SAW bersabda: Kasturi adalah sebaik-baik wewangian.
Berdoa. Diantara etika seks dalam Islam ialah membaca doa sebelum melakukan persetubuhan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas dituturkan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Jika salah seorang diantara kalian hendak mencampuri istrinya, maka hendaknya sebelum senggama membaca doa: Bismillah, Allahumma jannibnaa asy-syaithan, wa jannib asy-syaithana ma ruziqnaa (Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari Setan. Dan jauhkan setan dari apa-apa yang Engkau karuniakan kepada kami (anak keturunan). Dengan memanjatkan doa, diharapkan anak yang lahir dari buah percintaan tidak goyah diperdaya setan, akan tetapi serta selalu dekat kepada Allah.
Mencari tempat bercinta yang nyaman dan merahasiakan apa yang terjadi diantara suami istri pada waktu bercinta. Diantara syarat bercinta dalam Islam ialah mencari tempat yang nyaman dan merahasiakan apa yang terjadi pada saat bercinta, baik istri maupun suami, tidak diperkenankan menceritakan ‘geliat’ percintaan yang dilakukannya kepada orang lain. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Said Khudri, ia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda: Selazimnya bagi kaum lelaki diantara kalian yang hendak memenuhi hajat biologisnya, mencari tempat yang nayaman, jauh dari hiruk pikuk keluarganya, dan menutup pintu rapat-rapat, serta mengenakan sehelai kain, barulah bercinta (bersetubuh). Kemudian apabila telah selesai bercinta, hendaknya tidak menceritakan hubungan badannya kepada orang lain. Selazimnya bagi kaum wanita diantara kalian, yang hendak memenuhi hajat biologis, mencari tempat yang nyaman, menutup pintu rapat-rapat, dan mengenakan sehelai kain untuk menutup tubuhnya. Dan jika selesai memuaskan dahaga cinta, hendaknya tidak menceritakan hubungan intimnya kepada yang lain. Rasulullah SAW berkata tegas. Janganlah kalian melakukan hal seperti itu (menceritakan sesuatu saat senggama dan bersetubuh di tempat terbuka, serta bertelanjang bulat). Sebab perbuatan seperti itu, sama persisnya dengan perbuatan setan pria bertemu dengan setan wanita di tengah jalan, lalu bersetubuh di tempat terbuka, setelah setan pria selesai melampiaskan dahaga seksnya, lantas meninggalkan si wanita begitu saja.
Tidak bercinta saat melakukan iktikaf atau sedang dalam kondisi berihram. Orang yang sedang menjalankan iktikaf di masjid tidak boleh bersenggama, demikian pula orang yang sedang berihram, juga tidak boleh bercampur dengan pasangannya, sebagaimana diwartakan al-Qur’an: Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangnlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (QS. al-Baqarah/2: 187). Usman bin Affan meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW bertutur: Orang yang sedang melaksanakan ibadah Ihram tidak boleh bersenggama, maupun menikah atau melamar (HR Muslim). Dalam riwayat Turmudzi disebut dengan redaksi: Saat berihram dilarang bersetubuh.
Memperhatikan kondisi fisik. Waktu yang paling tepat untuk melakukan hubungan badan adalah saat kondisi fisik dalam keadaan fit (segar bugar), yakni pencernaan makanan lancar, tensi tubuh seimbang antara panas dan dingin, kondisi perut tidak kenyang dan tidak lapar. Sebab bersenggama dalam keadaan tubuh tidak fit, pencernaan makanan tidak lancar, tensi tubuh terlalu panas maupun terlalu dingin, perut terlalu lapar maupun kenyang, akan membuat hububgan badan kehilangan maknanya, dan tidak bisa dinikmati bahkan melahirkan madharat (mara bahaya). Bersenggama dalam keadaan perut lapar lebih berbahaya ketimbang perut dalam keadaan kenyang. Lain daripada itu, tidak akan bisa merengkuhi nikmat senggama, lebih-lebih memberi kepuasan seksual kepada pasangan hidup. Rasulullah SAW bersabda: Jika seseorang diantara kamu bersenggama dengan istrinya, hendaklah ia lakukan dengan penuh kesungguhan. Kemudian, kalau ia telah menyelesaikan kebutuhannya sebelum istri mendapatkan kepuasan, maka janganlah ia buru-buru mencabut (kemaluannya), sampai istrinya menemukan kepuasan (HR Abdul Razaq).
Posisi hubungan seks menurut Islam
Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji (vagina). Bukan yang lainnya. Dan ditambahkan Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam bersabda: "Terkutuklah suami yang menggauli isterinya di lubang duburnya (anus)." (HR. Imam Ahmad, Ibn Adiy dll dengan sanad hasan)Allah SWT berfirman,“Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wa 'Ala Alihi Wa Sallam menerangkan ayat tersebut: "Dari depan atau dari belakang (boleh) asalkan tetap di farji (vagina)." (HR. Bukhari dan Muslim dll).
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apa pun: berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”
Oral sex
Bagaimana mengulum/menjilati kemaluan pasangan atau oral seks menurut Islam?
Karena adanya air madzi. Keluarnya air ini disebabkan syahwat yang muncul ketika seseorang memikirkan atau membayangkan jima' (hubungan suami dan istri) atau ketika pasangan suami istri bercumbu rayu. Air madzi keluar dengan tidak memancar. Keluarnya air ini tidak menyebabkan seseorang menjadi lemas (tidak seperti keluarnya air mani, yang pada umumnya menyebabkan tubuh lemas) dan terkadang air ini keluar tanpa disadari (tidak terasa). Air madzi dapat terjadi pada laki-laki dan wanita, dan madzi tersebut adalah najis, dan najis hukumnya haram. Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi berpendapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks) adalah haram dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi) yang haram. Jika ia masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat menyebabkan penyakit. Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan hal yang demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar kewajaran dalam berhubungan).
Sedangkan mani atau sperma adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan ketika syahwat memuncak/ejakulasi, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci. Meskipun demikian sebagian besar para ulama yang mengatakan sperma itu suci pun berpendapat tidak boleh menelannya, karena firman Allah: "Dan dia (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) mengharamkan perkara-perkara yang khabits (sangat kotor/jelek)" (Al-A'raaf:157)
Pendapat sebaliknya dilontarkan oleh Sheikh Muhammad Ali Al-Hanooti, mufty, dalam Islamawarness.net menegaskan bahwa oral sex diperbolehkan dalam Islam. Ali Al-Hanooti menegaskan bahwa yang diharamkan dalam hubungan seks hanya ada tiga hal, yaitu: Anal seks, berhubungan seks saat istri sedang haid atau menstruasi dan seks pasca istri melahirkan (masa nifas). Sedangkan diluar ketiga hal itu, hukumnya halal. Hal yang sama juga diungkapkan Ustadz Sigit Pranowo, Lc di eramuslim.com. Oral seks juga diperbolehkan oleh Prof DR Ali Al-Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ Al Azhar) boleh dilakukan oleh pasangan suami istri selama hal itu memang dibutuhkan untuk menghadirkan kepuasan mereka berdua dalam berhubungan.
Syaikh Musa Hasan Mayan (anggota Markaz Dakwah dan Bimbingan Islam di kota Madinah KSA, murid Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan Syaikh Ibnu Baz) ditanya, “Apa hukum mencium kemaluan pasutri satu dan lainnya?” Jawab beliau hafizhohullah, “Tidak mengapa melakukan seperti itu. Seorang pria boleh saja bersenang-senang dengan istrinya dengan berbagai macam cara, ia boleh menikmati seluruh tubuhnya selama tidak ada dalil yang melarang. Namun tidak boleh ia menyetubuhi istrinya di dubur dan tidak boleh berhubungan seks dengan istrinya di masa haid. Sedangkan mencium kemaluan pasangannya, tidak ada masalah. Itu adalah tambahan dari yang dihalalkan karena tidak ada dalil yang mengharamkan, syari’at pun mendiamkannya. Sehingga oral seks semacam itu kembali ke hukum asal yaitu boleh. Yang menyatakan haramnya harus mendatangkan dalil, namun sebenarnya tidak ada dalil yang melarang perbuatan semacam ini. Kebenaran adalah di sisi Allah.
Adapun ulama belakangan yang melarang perbuatan ini beralasan karena kemaluan adalah tempat keluarnya najis seperti kencing. Maka tentu saja seperti itu tidak boleh dicium. Alasan seperti ini cukup disanggah bahwa yang dimaksud boleh mencium kemaluan adalah ketika keadaan suci, bukan ketika telah keluar najis. Karena jika sudah ada najis, tentu wajib dibersihkan (istinja’) dan dicuci. Jika sudah dicuci dan telah berwudhu, tentu keadaannya Allah terima sebagai bagian tubuh yang suci.
Meskipun banyak seksolog yang menempatkan oral seks kedalam kategori seks yang aman (dengan catatan selama betul-betul dijamin kebersihan dan kesehatannya, baik mulut atau kemaluan). Akan tetapi kemungkinan untuk terjangkitnya berbagai penyakit manakala tidak ekstra hati-hati didalam menjaga kebersihannya sangatlah besar. “Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya.” (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).
Jadi bagaimana, oral seks boleh, makruh atau haram menurut pandangan islam? karena para ulama saja berbeda pendapat (bingung ya... (+_+)). Jadi ya terserah masing-masing pribadi sajalah mau memakai pendapat yang mana. Misalkan juga kalau mau melakukan oral seks dengan pasangan, Yang terpenting agar jangan sampai sperma tumpah didalam mulut kemudian tertelan. Karena ada kemungkinan sperma itu walaupun suci ada kemungkinan bercampur dengan madzi yang najis.
Demikian sedikit ulasan mengenai hubungan dan posisi seks menurut Islam, semoga dengan semakin mengetahui aturan-aturan Islam ini, hubungan intim dengan sang istri semakin mesra dan tidak sampai melanggar yang Allah larang, yang diinginkan hanyalah ridho Allah.
(Dari berbagai sumber)
bagus artikelnya...izin nyimak ya :)
BalasHapusoke banget infonya thnksssssssssssss
BalasHapuscara memperbesar penis & rahasia kuat sex => www.OnTerus.com
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus